Rabu, 31 Oktober 2007

3Rd cErpeNQ

Melati Kuncup

Pawestri Sukma Ajining Jagad, yang lebih akrab dipanggil Sukma, merupakan kepingan cerita yang hampir dilupakan orang di desaku. Pelosok timur Jawa Tengah. Waktu itu suasananya masih tradisional. Masih memegang adat-adat Jawa. Kadang masyarakat sedesa lebih percaya pada dukun daripada Tuhan karena desa ini tak lagi terjamah oleh orang luar. Suasananya masih magis. Penerangannya masih menggunakan lampu teplok. Jalanan masih berupa tanah berbatu yang belum diaspal.

Kala itu, Sukma mengantar bakul nasi dan kendi yang berisi air putih untuk ayah dan ibunya di sawah, sekitar jam empat sore.

Di sawah, ayah dan ibunya masih sibuk menggarap sawah. Jadi dia meletakkan bakul nasi dan kendi air tadi di pinggir sawah dekat jalanan. Sukms membantu ibunya menanam benihnpadi, sedangkan ayahnya sedang membajak sawah dengan dua ekor kerbaunya. Akhirnya pekerjaan itu pun selesai. Cukup sore, sekitar jam lima lebih.

Sial! Nasi yang dibawa Sukma hilang beserta bakul dan kendi airnya. Tetapi dia melihat sisa-sisa nasi yang berjatuhan menuju ke hutan belantara. Dia memberanikan diri untuk masuk ke hutan itu. Padahal ada larangan bagi seorang gadis perawan untuk memasuki hutan itu.

Dia masih berjalan mengikuti sisa nasi yang berjatuhan. Dia tersesat di sana dan kebingungan. Dia berlari ke arah utara pusat hutan. Apa yang terjadi? Sukma menemukan bakul nasi di atas ranting pohon beringin besar yang menggelantung. Sukma memberanikan diri untuk mengambil bakul nasi itu. Sukma mencoba untuk meraihnya. Namun tiba-tiba sesosok makhluk hitam tinggi besar, bermata merah dan berbulu lebat muncul, lalu...

Sementar itu, orangtua Sukma cemas, bingung, dan stres. Ibunya tak berhenti memanggil nama Sukma. Orang desa berbondong-bondong membawa obor dan lampu teplok. Mencari Sukma bersama-sama.

Sampai tengah malam Sukma belum ditemukan. Angin yang berhembus dari pohon-pohon bambu yang terus bersuara, begitu dingin dan membuat bulu kuduk berdiri. Langit makin kelam. Bintang sudah ditutupi awan hitam. Tak ada cahaya yang bersinar. Hanya lampu teplok dan obor yang dibawa oleh warga.

Warga desa sudah lelah. Tak ada cara lain. Dukun? Iya benar. Itu yang jadi tujuan warga desa. Lalu berbondong-bondonglah warga desa ke gubuk dukun yang bernama Mbah Respati itu. Kemudian kepala desa pun turun tangan. Dia akhirnya menemui Mbah Respati.

”Mbah... Simbah, nyuwun...,” Belum selesai Kepala Desa itu berbicara tiba-tiba dukun itu menyemburkan air bunga dari mulutnya. Sekeliling ruangan itu keluar asap yang berbau busuk. Hal ini membuat warga ketakutan dan lari tunggang langgang kembali ke desa. Namun saat di tengah jalan, mereka menemukan Sukma di dekat sumur tua tak terawat yang sudah kering. Disekujur tubuh Sukma dililiti bunga melati kuncup. Di kepala, sekitar telinga, sampai di pergelangan kaki. Bunga-bunga yang meliliti tubuh Sukma membentuk pola seperti baju. Bunga itu menimbulkan bau wangi yang menyengat.

Esok paginya Sukma tersadar. Di hanya diam. Tak berbicara sepatah kata pun. Dia hanyaberdiam diri di rumah. Tanpa makan dan minum. Bila saat, malam tiba, Sukma tertidur dengan tangan dan kaki yang dirpatkan serta dengan bibir yang tersenyum lebar.

Keanehan ini terus terjadi berhari-hari. Bunga melati kuncup itu tak kunjung lepas dan mengering dari tubuhnya. Hingga pada hari ke sembilan setelah Sukma ditemukan, dia mulai berbicara. Keluar rumah dan tertawa seenaknya. Kadang berdiam diri di ayunan dekat rumahnya. Snyum-senyum sendirian seperti orang gila.

Kemudian ada hal aneh yang terjadi. Supri, tetagga Sukma mati dengan kondisi tubuh terbakar. Menurut saksi yang melihat, Supri kemarin malam berjalan-jalan dengan Sukma.

Keesokan harinya, Sukma pergi dari rumah. Pergi ke ujung desa untuk sekedar bermain. Dia tertawa terbahak-bahak pergi ke lumbung padi untuk menemui para lelaki yang memisahkan padi dari tangkainya.

Sukma membuat perhatian. Dia berteriak minta tolong. Lalu para leleki tadi mendatanginya. Entah kenapa dengan satu kedipan mata Sukma, lelaki itu langsung tersangkut hatinya pada Sukma. Laki-laki itu terlalu bernafsu seperti kerasukan setan. Matanya merah. Air liur menetes seperti anjing yang kehausan. Para lelaki itu mencoba menggerayangi tubuh Sukma. Namun belum sempat mereka menyentuh Sukma, tubuh mereka kepanasan. Gelisah lari sana-sini hendak mencari air. Mereka pun menemukan air dan segera menyiramkan air pada tubuh mereka. Secara cepat dan tak kasat mata, tubuh lelaki itu jadi hitam habis hangus terbakar.

”Ayo pasung Sukma! Ayo pasung Sukma!” kata para warga sambil mengepung rumah Sukma.

Wonten punapa niki, Bapak Ibu,” teriak ibu Sukma yang ketakutan.

Anakmu wis edan, patute dipasung wae, wis gawe rusuh warga sak desa,” kata salah seorang warga.

Pak... Bapak... Piye iki Pak!” kata ibu Sukma pada suaminya.

Serentak warga desa berteriak-teriak pada orang tua Sukma untuk segera membawa Sukma keluar tetapi orangtua Sukma tidak mau melakukannya. Terpaksa dua dari warga desa mengambil paksa si Sukma. Sukma berteriak keras, “Bumi gonjang-ganjing! Bumi gonjang-ganjing!”.

Sukam lalu diseret ke Balai Desa dan siap untuk dipasung. Sukma hanya terdiam sambil melotot matanya. Dua lelaki tadi akhirnya merantai tangan Sukma dan memasung kakinya. Namun tiba-tiba petir bergelegar seketika hujan deras sekali dan dua orang yang memasung Sukma tadi mati di tempat. Air dingin mengguyur desa. Daun-daun pohon bergejolak kesana-kemari cemas merasakan hujan yang yang belum pernah turun seperti ini. Awan gelap seluruhnya melingkupi lokasi desa. Bau kemagisan makin tercium.

Setelah peristiwa itu, tak ada lagi orang yang mendekati Sukma. Dia tidak makan, tidak pula minum. Dia tetap hidup tetapi terlihat lemas. Mayat dua orang yang memasung Sukma tidak ada yang mengambil. Membusuk dan mengering di pasungan Sukma.

Tepat setelah empat puluh hari Sukma dipasung, bunga melati yang meliliti tubuhnya mekar dan seketika Sukma mati. Tak ada sebab. Jika ada, pasti karena Sukma tidak makan dan minum. Atau ada alasan lain?

Ibu Sukma pasrah dengan keadaan Sukma. Begitu pula ayahnya. Ibu Sukma stres. Ayah Sukma akhirnya membawa istrinya ke kota besar dan meninggalkan pedesaan yang dikutuk itu.

Banyak hal aneh terjadi setelah kematian Sukma. Bial ada yang melewati tempat pasungan Sukma maka dia akan mati, maksimal jika hidup dia gila. Sekeliling pasungan Sukma ditumbuhi rumput kering. Rumput kering yang terus tumbuh meninggi. Tempat pasungan itu tampak lama dan usang dengan kondisi kerangkeng besi yang dipenuhi sarang laba-laba.

Sebulan, dua bulan setelah tewasnya Sukma, banyak warga yang sering melihat dukun desa itu mendatangi pasungan Sukma. Ya, Mbah Respati. Dia sering datang saat malam Jumat Kliwon. Membawa sesaji, dupa, dan persembahan yang lain. Aneh, setiap orang yang melewati pasungan Sukma pasti mati, tetapi mengapa Mbah Respati tidak?

Kepala Desa akhirnya mengambil keputusan untuk menyeret Mbah Respati ke Balai Desa untuk mengambil jasad Sukma. Mbah Respati tak berdaya. Ilmu hitam yang ia punya tiba-tiba tak berguna. Dia berteriak-teriak, ”Genderuwo setan alas! Kowe wis lali karo aku!”. kekuatan dukun itu sepertinya telah musnah., dimusnahkan oleh setan peliharaannya itu.

Sampailah para warga desa di pasungan Sukma tetapi hanya jarak lima meter mengingat apa yang akan terjadi bila terlalu dekat dengan pasungan Sukma. Warga makin berteriak pada dukun itu agar segera mengambil jasad Sukma.

Ternyata Mbah Respati sudah lama menaruh cinta pada Sukma. Melati kuncup itulah perantara yang membuat tiap lelaki yang mendekati Sukma mati terbakar. Puncaknya saat para warga memasung Sukma. Warga dianggap menghalang-halangi jalan Mbah Respati untuk menculik Sukma setelah mengguna-gunai Sukma. Kemudian sesaji yang diberikan pada pasungan Sukma itu dimaksudkan agar jasad Sukma tak membusuk. Dan genderuwo di hutan itu... itu juga siasat Mbah Respati.

Akhirnya Mbah Respati membuka pasungan Sukma. Kemudian secara tiba-tiba langit mendung sekali. Hitam pekat. Padahal ini masih tengah hari. Kelelawar penghuni hutan angker itu keluar. Terbang kesana kemari mengelilingi pasungan Sukma. Angin berhembus begitu kencangnya. Siang sepertinya telah berubah menjadi malam. Lalu saat dukun itu akan mengambil jasad Sukma, petir menyambar Mbah Respati dan tempat Sukma dipasung. Seketika tempat itu terbakar dan hujan turun dengan derasnya. Warga yang menyaksikan kejadian itu, basah kuyup dan gelisah. Yang tersisa setela hujan itu hanyalah abu basah, asap bau, dan bangkai kelelawar yang mati terpanggang di sana-sini. Jasad Sukma dan Mbah Repati tak ditemukan. Penduduk tercengan menyaksikan hal itu. Maka berakhirlah cerita Sukma dan dukun itu.

Seminggu kemudian, ayah dan ibu Sukma kembali ke desa itu. Membawa sesuatu yang sudah lama dilupakan oleh warga yaitu agama. Warga sadar bahwa seharusnya mereka lebih mendekatkan diri dan memohon bantuan pada Tuhan bukannya pada dukun. Sejak kejadian itu dan kedatangan orangtua Sukma yang membawa agama, desa ini jadi lebih tenang dan tentram. Bau kemagisan telah tergantikan oleh suasana yang agamis. Hilang sudah trauma misteri yang ada.

Teringat kisah Sukma membuatku untuk berpikir lebih panjang. Melati kuncup itu ku anggap sebagai simbol keperawanan Sukma. Bahwa eksistansi dan kejayaan wanita terdapat pada status perawannya. Apabila kematian terjadi wanita perawan maka usai sudah jalan hidup dan terputuslah status keperawanannya, seperti melati kuncup yang mulai kembang, terbukti dengan jeranya Mbah Respati dalam usahanya untuk memiliki Sukma.

Itulah cerita Pawestri Sukma Ajining Jagad, yang katanya keberatan nama. Sukma hanya perantara. Justru kita sasaran utamanya. Biar kita bisa belajar dari kisah Sukma dan berusaha menjalani hidup denagn setegar mungkin. Tentunya tak pula pada Tuhan Yang Esa.

Tidak ada komentar: