Kamis, 31 Januari 2008

it has fiNiSheD

Komersialisme


Dan sebuah erosi penyesalan menggerogoti segenap keyakinan yang ada…
Seorang gadis menyusuri gang-gang kotor untuk menemukan dimana tempat perlindungan bagi raga, dan suka-dukanya. Tubuhnya terasa habis dinjak-injak oleh seribu kaki diantara antre panjang di musim pembagian beras zakat. Kelemahan telah berjam-jam menyetubuhinya dengan kekelutan birahi manusia. Matanya tak segar lagi. Sisa nafas dan tenaga hanya membuatnya setengah kali aktivasi ’tuk terus lanjutkan perjalanan.
Sedang malam terasa membenci membencinya seperti sebuah garis kutukan. Angin malam tak henti-hentinya menampar kulit yang terasa semakin lesu. Malam benar-benar membencinya.
Setelah puluhan dan ratusan langkah terjejak dalam niatan untuk pulang, maka sang rumah telah menjemputnya. Dia memasuki rumahnya. Merebahkan tubuh lelahnya dikasur lapuk yang menua.
Pikirannya berkecamuk. Bahwa apa yang telah dilakukannya tadi adalah sarana transormasi menuju jalan hidup berikutnya. Walau dia tahu bahwa itu dosa. Namun itu siklus kehidupan baginya. Manusia takkan bertahan dibawah maupun diatas untuk selamanya. Sebuah hal yang faktual yang mesti manusia yakini.
Dia merasa getir setelah bersenag-senag diatas kekalahannya. Merasa sakit setelah melanggar garis final sebuah kecurangan. Maka dia kebingungan dalam detik awal perjalanan hidupnya. Mengapa harus memulai dan mengapa harus menjalani.
Kepalanya pusing memenuh. Rasanya masalah dan gugatan iman berulang kali menyebabkan penyusutan parameter otaknya. Sedangkan raga hanya bisa mengiyakan rencana hanya untuk mengisi perut yang kerontagn. Untuk meyulam lagi gurat-gurat usia untuk menyambung kehidupan. Jiwanya memekik keras.
Sakit!
Dia adalah hasil ekstrimisme dari siklus hidup yang tidak seimbang. Dia mungkin korban. Tetapi juga seorang pelaku. Memang begitulah hakikat manusia sebagai makhluk yang tidak bisa menerima. Suatu hal baik disatu sisi terlihta buruk dan begitu pula sebaliknya. Apakah koreksi dan instropeksi bisa menentukan jalan yang lebih baik, atau sebaliknya, menjerumuskan?
Dan dia memeng telah memutuskan itu...
Dia bangkit dari tidurnya yang sama sekali tidak membuatnyasemakin kuat. Dia menemui kaca yang sudah bosan memproyeksikan wajahnya. Mengapa harus bercermin? Bukankah dis audah tahu siapa dirinya? Kerutan didahi membuatnya terlihat makin ta, padahal dia masih muda. Karena kompleksitas hiduplah yang membuatnya begini sekarang. Bila sebuah gerbang mempertemukan antara kerelaan dan tidak kerelaan hidup, maka manusia sungguh dalam kebingungan. Apakah keikhlasan merupakan hal utam yang menentukan sebuah kebahagiaan? Apakah rela selalu bersifat positif dan menghadirkan kesengngan mutlak tanpa merugikan diri sendiri?
Dia diam memandangi wajahnyasendiri. Apa kira-kira yang terbesit dalam pikirannya yang sedang kacau sekarang? Kecantikannya? Sepertinya tidak.! Terlihat bola mata yang lelah, yang memancarkan sinar semu tanda lemahnya hidup. Kekecewaan yang justru terbayang olehnya sekarang. Mengapa dia harus melakukannya? Tidakkah iytu dosa? Namu jawaban itu terlalu retoris. Sama seperti sebuah pertanyaan: Apakah seorang pelacur pernah membayangkan kalau dirinya nanti akan menjadi seorang pelacur?
~ Aku seorang pelacur ~
Dia menyentuh pipinya lalu mengambil sapu tangan didalam tas kecilnya. Dia menghapus warna fantasi yang ada di mukanya. Dia teringat wajahnya dulu ketika masih kecil. Rasa rindunya pada hidupnya yang dulu memang harus tersampuli tebal oleh paksaan kehidupan. Sama seperti pertanyaan tadi bahwa ketika dia kecil dia tak pernah mengira kalu dai akan menjadi seorang pelacur ketika dewas. Atau itu sebuah kebetulan?