Rabu, 31 Oktober 2007

1st cErpEnQ

Makanan Bumi buat Ayah-Ibu di Surga

Sampai saat ini pun masih ku ingat pertanyaan dari wartawan itu. “Apa rahasia Anda, sehingga Anda bisa jadi koki yang terkenal seperti sekarang ini?”. Dan aku pun menjawab dengan jawaban umum yang sering kali dilontarkan oleh banyak orang. Aku menjawab bahwa keberhasilan itu harus diawali oleh kerja keras, terus belajar, dan berdoa. Ya, setidaknya jawaban itu memuaskan.

Sekarang aku sedang duduk di serambi belakang rumahku. Rumah tua yang ku tinggali sejak kecil. Sambil menikmati ribuan layang-layang macam warna menari-nari menghiasi cakrawala yang mulai menjingga karena tenggelamnya sang raja hari. Tentunya aku sangat menikmati hal ini sebab jarang sekali waktu memihakku untuk melakukan hal santai.

Teringat pertanyan tadi teringat pula aku akan jawabanku yang kurang tepat. Benar sekali jika aku mencoba untuk menutupi jawabanku. Sesungguhnya bukan itulah alasan yang membuatku bisa sesukses sekarang ini. Meski aku agak ragu dengan jawaban yang sebenarnya. Namun aku mencoba untuk meyakininya bahwa ku rasa memang itulah motivator hidupku yang membuatku bisa jadi sesukses ini. Walau telah berulang kali aku menyangka bahwa kesuksesan itu tak akan datang pada anak yang masa kecilnya biasa-biasa saja.

Semua berawal dari kepergian ibuku. Ibu meninggal saat aku berumur delapan tahun. Semua kenangan indah yang terenda semasa ibu hidup, membayangi tiap langkahku dalam menjalani hidup. Saat itu aku depresi berat. Tak bisa menerima kenyataan kalau ibu telah tiada. Aku bersedih cukup lama. Sekitar tiga bulan aku diam terus-menerus dan suka menyendiri. Aku sungguh tak rela ditinggal pergi oleh ibu saat usiaku masih dini.

Hingga suatu ketika aku tersadar. Ku temukan seekor anak burung yang ditinggal mati oleh induknya. Anak burung itu terlihat bingung dan kesusahan. Hatiku pun ikut tergugah. Aku berencana merawatnya. Barangkali anak burung itu bisa hidup lebih baik jika ku rawat. Akhirnya aku putuskan, esok pagi aku akan mengambilnya.

Esoknya, aku tak menemukan apapun di balik sarang burung itu. Aku kebingungan. Aku menduga kalau anak burung itu pasti sudah mati kelaparan. Aku pun mulai respon. Ku cari bangkai anak burung itu di tanah di bawah sarangnya. Hasilnya nihil, tak ku temukan bangkai anak burung itu. Lalu aku mendengar kicauan kecil yang gemetar di atap rumahku. Seketika aku berlari mencari sumber suara dan ku temukan anak burung yang ku kira mati tadi sedang berkicau di atap rumahku. Sejak kejadian itu aku sadar bahwa semestinya aku tetap menjalani hidup walau ditinggal pergi oleh orang-orang yang kucintai, seperti anak burung tadi.

Hari-hariku mulai berubah. Aku mulai riang dengan apa yang akan aku hadapi. Baik itu suatu kebahagiaan maupun kesedihan. Agaknya mentari pagi bersinar lagi, menyinari tunas harapan baru dalam hidupku. Hingga ku rasakan jiwa semangat saat aku bermain, belajar, dan bekerja.

Yang namanya anak kecil tak luput dari kasih sayang orang tua. Aku kini tinggal sendirian tanpa adik atau kakak. Yang ada hanya ayah. Aku sangat menyayangi ayah. Beliau selalu menasihatiku dengan cara yang tepat sehingga tidak membuatku semakin terasa terkekang. Ayah adalah orang yang dermawan. Beliau sering membawaku ke panti asuhan untuk mengunjungi anak yatim piatu. Aku pun jadi sering ke sana sendirian saat aku sedang bosan. Ayah juga sering menceritakan tentang ibu. Ayah tahu bahwa aku sudah bisa mengerti keadaan sehingga ayah tak ragu sedikit pun untuk menceritakan banyak hal tentang ibu. Kata ayah, ibu itu istri yang baik dan setia. Ibu selau memberikan yang terbaik untuk keluarga. Mulai dari makanan, pakaian, sampai perhatian. Ibu juga sayang padaku. Aku terbiasa diajari berbahasa yang baik. Selalu diberi nasihat agar aku sadar. Dan masih banyak lagi yang ibu lakukan untukku.

Rasanya kurang bila kebaikan ibu tak ku balas dengan apapun. Sebab ku rasa bahwa kasih ibu sungguh besar. Beliau sosok yang sangat ku sayangi. Maka aku pun berencana untuk membuatkan sesuatu untuk ibu.

Akhirnya imajinasiku mulai ikut bergabung dengan ide masa kanak-kanakku. Aku mencoba membuat kerajinan dari kayu. Barangkali ibu bisa menyimpannya sebagai kenang-kenangan. Setelah ku coba ternyata hasilnya sangat jelek dan aku tak jadi memberikannya untuk ibu. Kemudian aku mencari jalan lain. Bagaimana jika dari tanah liat? Sepertinya tak mungkin karena ibu tak suka barang-barang dari tanah liat. Aku harus membuat apa?

Aku pun lantas berpikir ulang bahwa ibu telah tiada dan usahaku untuk membuat kerajinan dari kayu atau tanah liat adalah sia-sia. Aku jadi bersedih. Aku merasa berdosa jikalau tak bisa membalas kebikan ibu. Kemudian pikirku melayang. Makanan! Benar sekali. Aku yakin ibu berada di surga berkat kebaikan beliau. Ku piki ibu terlalu lama di surga dan selalu menikmati makanan yang enak. Jadi tak ada salahnya jika aku mempersembahkan makanan bumi buat ibu di surga.

Hari-hari berikutnya aku belajar memasak dan meminta ayah untuk mengajariku. Aku membuat nasi goreng untuk pertama kalinya untuk ibu. Aku meracik bumbunya sendiri. Memanaskan minyak dan menumis bumbu. Lalu memasukkan nasinya, aduk dan … jadilah nasi goreng buatan anak umur delapan tahun.

Ada masalah! Dimana aku akan meletakkan nasi goreng yang ku buat itu? Padahal aku tak tahu ibu akan datang atau tidak. Aku pun ingat sesuatu. Aku pernah melihat film di Televisi. Di sana ada seorang anak yang rindu pada orang tuanya yang telah meninggal. Kemudian dia menulis sebuah pesan di selembar kertas dan memasang sebuah kawat berbentuk tiga perempat lingkaran di bagian ujung kertas itu. Anak itu mulai menaikkan layangannya ke langit. Terus sampai tinggi ke awan. Kemudian dia mengaitkan kertas tadi ke senar layangan dengan menggunakan kawat yang telah dipasang. Seketika angin akan membawa kertas itu menaik terus hingga menyentuh badan laying-layang. Saat itulah pesan akan akan dibaca oleh orang tua si anak. Kemudian aku ambil kesimpulan bahwa sesuatu yang akan kita berikan pada orang yang telah tiada harus diletakkan di tempat tertinggi yang bisa kita jangkau.

Aku lalu berlari ke samping rumah dan menemui tower pemancar yang sudah tidak digunakan lagi. Aku coba untuk menaikinya. Ya, aku bisa walau hanya beberapa meter saja. Aku memasang triplek seukuran setengah meter kali setengah meter di ruangan yang tak terpanjat untuk tempat makanan. Kemudian aku mengambil makanan yang ku buat tadi. Aku lega telah memberi ibu nasi goreng walau rasanya tak karuan.

Esok paginya ku temukan piring yang sudah kosong tanpa sisa. Aku senang sekali. Ibu pasti menyukai masakanku dan menghabiskannya. Ternyata ibu mendengar apa yang ku keluh kesahkan selama ini.

Hari demi hari aku melakukan hal itu. Menyiapkan sepagi mungkin makanan yang akan ku persembahkan untuk ibu biar pagi-pagi sekali ibu bisa makan tanpa menunggu lama. Kadang pula aku menyiapkan secangkir teh manis. Bila dapur sedang tidak ada gula, aku sering mengganti teh manis dengan air putih segar.

Suatu hari ku temukan makanan yang ku persembahkan untuk ibu tidak habis seluruhnya. Hanya sebagian dan hanya sedikit yang termakan. Aku pun mulai mencari penyebabnya. Mungkin aku menaruhnya terlalu siang. Tetapi tidak, kemarin aku menaruhnya jam enam pagi. Atau mungkin masakanku kurang enak. Aku lalu mencicipinya meski masakanku sudah basi dan ku rasakan kalau bumbunya masih terasa. Jadi tak mungkin kalau masakanku tidak enak.

Hari-hariku jadi sendu. Ibu tak mau lagi makan masakan buatanku. Ibu pasti marah sekali. Aku bingung, kira-kira apa yang membuat ibu tak mau makan masakanku. Saat itu usiaku sudah dua belas tahun dan tentunya waktuku untuk menyajikan makanan buat ibu terlalu lama … Itu dia! Waktu! Saat usiaku dua belas tahun berarti aku sudah empat tahun menyajikan makanan, itu berarti pula kalau usia ibu bertambah dan mungkin ibu sulit menjangkau makananku karena telah bertambah tua.

Akhirnya aku menaiki tower itu lagi. Melepas triplek yang pernah ku pasang di sana dan memindahkannya ke bagian yang lebih tinggi. Dalam waktu beberapa puluh menit, pekerjaan itu pun selesai. Dan aku langsung saja memasak lalu menyajikan makanan yang ku buat tadi di tempat yang telah ku sediakan. Hasilnya … ibu mau makan masakanku. Yeah, aku senang sekali. Aku pun kembali riang dalam menjalani hidupku.

Lima tahun kemudian ayah meninggal dunia. Aku sangat sedih saat itu. Kesedihanku melebihi seluruh kesedihan yang pernah aku rasakan. Kini aku sendiri. Sudah tak ada lagi yang mau menemani dan menasihatiku. Semua sepupuku ada di luar provinsi jadi hanya aku yang tinggal di kota ini. Kepergian ayah bertepatan dengan dengan kelulusan sekolahku. Ayah meninggalkan beberapa barang simpanannya beserta rumah. Rumah yang kini ku tinggali sendirian.

Semeninggal ayahku, aku membuka warung makanan karena aku suka memasak gara-gara sering menyajikan makanan untuk ibu. Walau warung yang ku buka terlihat kecil-kecilan, warung yang ada di rumahku ini ramai didatangi pengunjung. Berbagai jenis masakan aku pelajari. Mulai dari masakan Jawa sampai masakan Cina. Mulai dari resep sederhana sampai resep terumit. Aku mempelajarinya dengan cara menyajikannya dahulu untuk ayah-ibu dan jika makanan itu habis itu berarti masakanku enak. Semuanya aku pelajari dengan sungguh-sungguh biar aku bisa melanjutkan hidup.

Warung yang ku buka itu lama-kelaman menjadi warung yang dikenali banyak masyarakat dan aku memutuskan untuk membuka warung yang lebih besar lagi, tentunya tempatnya masih tetap di rumahku.

Walau aku bekerja sedemikian sibuknya, aku tak pernah melupakan waktu untuk menyiapkan aneka masakan untuk ibu dan ayah. Setiap kali makanan itu tak habis, maka aku naikkan lagi tempat untuk menaruh makanan, ke bagian tower yang lebih tinggi. Jika aku menempatkan makanan itu sudah setinggi mungkin dan makananku tak juga habis, itu berarti masakanku kurang enak. Maka aku akan memperbaiki rasa masakanku dan mencoba untuk membuat resep terbaru agar ayah-ibu tak bosan dengan makanan yang aku buat.

Itulah hal yang sering ku lakukan hingga sekarang aku berusia 23 tahun. Aku terlihat masih muda untuk mendapat predikat koki terkenal. Aku tetap saja menyajikan makanan itu meski aku tahu kalau ayah-ibu tak benar-benar memakannya. Karena burung-burung dan binatang lain yang tinggal di dekat rumahkulah yang selalu memakannya. Tetapi aku yakin, burung-burung dan binatang lain itulah yang akan membawa masakanku ke surga untuk dipersembahkan untuk ayah dan ibu.

Pada akhirnya aku harus jujur. Bahwa aku sehebat sekarang ini bukan karena usaha dan sekolahku untuk belajar memasak tetapi untuk membuat masakan terbaik yang bisa dinikmati oleh ayah-ibu di surga tanpa menyisakannya sedikitpun.

Tidak ada komentar: