Rabu, 31 Oktober 2007

2nD cErpEnQ

Kilas Balik

Di taman sederhana yang…

Diguguri bunga-bunga indah

Terlihat kerumunan anak TK

Memakai seragam dengan rapi

Berwarna biru, kuning berdasi

Sungguh bahgia dan ceria

Anak-anak itu

Diwajahnya terlihat bias keluguan

Dan kepatuahn yang dibatasi

Namun aku tak bisa merasakannya

Aku mati di usia dini

Karena takdir yang menyeluruhi

Kini…

Yang tertinggal hanya…

Foto-foto hitam putih yang…

Ada dalam album usang

Dan kamar kecil penuh nostalgia

Seta hasta karya

Yang ku but dulu

Menangis meratapi

Kepergianku…

Ya. Roh. Arwah. Yang jelas jiwa orang yang telah meninggal. Aku tak mau disebut sebagai setan karena ku anggap setan itu makhluk yang dikutuk Tuhan. Sedangkan aku… makhluk yang mati karena kemalangan. Mati dalam keterpaksaan. Tak ada alur hidup yang bisa ku lalui lagi.

Aku punya ayah dan ibu. Tetapi tak punya adik atau kakak. Anak tunggal. Menurutku, aku tak nyaman menjadi anak sulung sekaligus anak bungsu. Yang pasti, aku harus meyakinkan orangtuaku kalau aku bukan anak yang tidak diharapkan. Harus membuktikan kalau aku hebat dan berdaya.

Dimanja? Iya dan memang. Aku dimanja oleh orangtuaku. Namun efeknya besar. Aku harus menuruti segala perintah orangtuaku. Meski kadang aku menikmati benar setiap detiknya. Dibelikan mainan banyak saat umurku masih tiga tahun. Makan kembang gula tanpa bayar. Dibelikan ribuan kardus susu dan masih banyak lagi lainnya. Kenikamatan yang ku rasa. Bahagia duniawi sebutannya. Akan tetapi seperti yang ku katakan tadi, aku jadi sangat patuh pada orangtuaku. Patuh, itu hal yang ku benci.

Umur? Jangan tanyakan tentang umur. Ku rasa nanti saja aku menceritakannya. Toh, ceritaku ini belum usai.

Satu hal yang tak bisa aku terima. Kematian ibuku. Padahal saat itu, aku sangat ingin bercerita banyak pada ibu. Cerita tentang pengalamanku hari ini. Tentang teman-temanku yang berkelahi di lapangan sepakbola. Cerita mengenai rasa iriku pada temanku yang dibelikan layangan baru. Saat itu juga aku menginginkan pelukan hangat dari ibu. Pukulan sayang dipantatku dan menyuruhku agar lekas mandi. Namun dihari inilah, harus ku usaikan ceritaku pada ibu untuk selama-selamanya.

Ketika itu disaat minggu terakhir kehidupan ibuku. Beliau terbaring lesu diranjang tua sendirian. Tanpa suami yang menemani. Jika kau katakan ayah maka benar. Dia yang menyebabkan ibu meninggal. Yang menyebabkan ibu sakit keras. Entah kenapa sejak ibu sakit keras ayah menjadi pemarah. Ayah merampas uang yang telah didapat ibu dari hasil mencuci cucian tetangga seharian. Mencuri tabungan ibu untuk sekolahku nanti. Dan yang tak akan kau percaya, ayah menjual mas kawin ibu dan kepunyaannya. Buta dan tak mengenal belas kasihan itulah ayahku.

Saat-saat terakhir yang tak ingin ku nantikan pun terjadi. Ibu meninggal setelah ditendang ayah, gara-gara ibu mempertahankan uang kerjanya hari ini. Masih ku ingat kata-kata ibu bahwa aku harus tetap berbakti dan patuh pada ayahku.

Mulai saat itu, kantong mataku terlihat begitu jelas. Sampai-sampai mataku bengkak karena tak kuat menahan air mata. Badanku jadi lesu. Tak bergairah lagi buat bermain petak umpet dengan teman-teman. Tak ada lagi waktu untuk bermain sepak bola. Melihat teman-temanku berkelahi. Waktuku hanya habis untuk menangis. Sebentar-sebentar menangis, mengantuk lalu tertidur. Kemudian beberapa menit menangis lagi. Semua arah hidupku sudah selesai agaknya.

Ternyata tidak! Belum usai! Ayahku semakin memperlakukanku dengan semena-mena. Ku harus makan nasi basi dengan lauk tempe kecut tiap harinya. Harus merasakan pukulan ganggang kayu disekujur tubuh. Minimal dalam seminggu aku dapat tonjokan dimataku.

Pernah pula ku jumpai ayahku membawa wanita cantik yng belum pernah ku kenal sebelumnya. Masuk kamar dan aku tak tahu lagi apa yang terjadi di dalam. Yang ku dengar hanya suara berisik yang dihasilkan oleh dua makhluk itu. Hal ini sering terjadi. Aku tak tahu apa yang mereka perbuat. Tahu-tahu esok pagi kamar ayahku sudah kosong. Yang tersisa hanya botol-botol yang berbau keras.

Semenjak kepergian ibuku tak ada lagi yang peduli padaku. Tetangga? Jangankan tetangga, kerabat dekat pun tak ada yang mau menyentuhku. Mengingat siapa ayahku. Preman. Penjahat. Dan kata-kata kotor lainnya. Pernah dulu ada orang yang ingin menjadikanku anak angkatnya. Namun jelas-jelas ku tolak dan aku garis bawahi. Dia hanya akan memungutku bila sudah tak ada lagi ayahku. Tak ku harapkan bantuan dari seseorang yang seperti itu. Bantuan tanpa keikhlasan. Memalukan!

Keberanian. Itulah yang harus ku tanamkan sejak dulu. Melawan ayahku. Berani membentak bila aku dipukuli. Namun setelah ku pikir-pikir, itu adalah hal yang mustahil. Itu konsekuensi dari ilmu manja yang di berikan oleh orangtuaku. Aku jadi tak berani melawan ayahku. Lebih-lebih mengingat apa yang disampaikan oleh almarhumah ibuku. Aku akan tetap diam. Tak melawan. Patuh. Seperti orang bodoh.

Tak bisa terelakkan lagi, ketika ayahku marah pada wanita yang tak mau diajaknya berkencan. Aku, anak laki-laki yang tak berdaya dipukuli hingga pingsan. Setelah aku tersadar, aku menemui duburku yang berdarah dan rasanya begitu perih. Itu adalah hal yang tak bisa ku terima.

Aku tak tahu dengan apa yang terjadi pada alat pengeluaranku ini. Perih, seperti luka gores yang menganga. Jalanku sudah tidak setegak dulu. Kaki kiriku terpaksa pincang karena menahan rasa sakit. Apalagi saat aku buang air besar. Aku meski merasakan rasa sakit seperti luka baru yang digarami. Bukan tinja yang keluar dari duburku tetapi darah dan kulit kering yang terkelupas. Begitu perih ku rasakan. Begitu pula hatiku yang ikut merana merasakan penderitaan hidupku. Ibulah yang ku ingat saat aku sedih. Beliau sosok wanita penuh rasa sayang. Kasihnya selam ini tak tergantikan oleh apa pun.

Pusat ketragisan yang aku rasakan pun tiba disaat umurku masih lima tahun. Saat malam dingin dengan hujan lebat yang menyebabkan suara tak terdengar dan tetangga tertidur pulas.

Ayahku marah-marah tak jelas alasannya. Aku diseret dari pintu depan rumah menuju kamar. Aku takut. Mata ayahku memerah. Dia beringas. Aku dipaksa untuk berbaring di tempat tidur dengan posisi badan tertelungkup. Aku berteriak-teriak karena ketakutan. Tetapi dengan segera ayahku melepas pakaiannya dan menyumbat mulutku dengan baju tadi. Tangan ayahku yang kuat memegang tanganku yang lemah dan tak berdaya. Tak ada lagi pemberontakan yang bisa aku lakukan. Aku sudah lemah. Puncaknya saat celanaku terbuka. Sakit! Sakit rasanya. Aku tak bisa bernafas lagi. Aku ketakutan dan kesakitan. Bola mataku melotot menahan rasa sakit. Sodomi. Kata yang baru tadi pagi ku dengar di Televisi tetanggaku. Aku tak berdaya lagi. Aku hanya bisa pasrah mendapat perlakuan itu. Aku menyerah. Akhirnya aku memisahkan jiwa dengan ragaku. Aku mati ditangan ayah.

Aku sedih. Ku kira setelah aku mati, aku akan bertemu ibu. Tetapi tidak, justru aku semakin bingung hidup di alam ini. Semua usahaku untuk menjalani hidup selama ini tak ada gunanya.

Namun waktu mau menjawab. Aku tertawa terbahak-bahak ketika melihat ayahku dipenjara karena kematianku. Merana di sana sendirian. Tanpa sanak saudara yang mau menjenguk. Makanan yang dulu aku makan, kini justru dimakan ayah. Oh… aku puas sekali. Aku begitu senang menyaksikan hal itu. Biar dia merasakan apa yang telah dirasakan oleh banyak orang karena perbuatannya.

Kepuasan dunia yang diberikan kepadaku ternyata tak berhenti sampai disitu saja. Kegiranganku mencapai titik tertinggi saat ayahku meninggal dunia karena ditikam perutnya dengan pisau oleh salah seorang narapidana di penjara itu. Aku begitu senang. Lebih-lebih saat ku lihat pekuburan ayahku kotor tak terawat dan tak ada bunga yang bertebaran di atas makamnya. Sudah dilaknat manusia. Sudah dilupakan manusia. Aku durhaka? Tidak! Bukankah ayahku yang harusnya dicap durhaka dan mendapat dosa besar karena tak bisa menjadi ayah yang baik? Yang membunuh darah dagingnya sendiri hanya karena alasan kepuasan nafsu diri.

Usai. Puas. Adil. Itulah yang ku rasakan. Namun kekecewaanku makin menjadi ketika aku membayangkan lagi masa kecilku yang belum sempat belajar mengeja Bahasa Indonesia dan berhitung bilangan matematika. Mematikan rantai kehidupanku dan hancurlah semuanya.

Yang tersisa hanya kenangan. Kenangan di album usang yang sering ku bolak-balik untuk melihat foto masa hidupku. Kini, aku sendiri. Berteman mentari disaat siang dan berteman kunang-kunang kecil bercahaya disaat malam.

Umur? Usia? Sebenarnya aku tak mau menceritakannya, tetapi… baiklah. Jika aku lahir ditahun 1990 dan meninggal tahun 1995, lalu… berapa umur jasadku dan umur rohku sekarang?

2 komentar:

zulayha"sblog mengatakan...

Ass, kakakku.....
baru tahu daku kau punya bakat nulis cerpen
Keren!
cerpen kakax mengingatkanQ pd novel best seller SHEILA karya Torey Hayden.Pernah baca?
Thanx~for u poem for me"ALFA"
Ohya tak koment soal foto kakax yg nampang d dpn.Jelex(hehehe).Imyut aslinya.(Dilarang GR!)Wass

zulayha"sblog mengatakan...

asS kakak.....
tantangan ANDA SAYA TERIMA.Kapan nih?
k2k kirim ke blogku yg zulayha"s blog ya............Aq tak mikir dulu puicinya.Tyus nyang jadi jurina capa?o ya klo dah liat CORAT COREtQ kacih comen ya.....TEACHER........ :)Hip hip HUUUUUU (2kali)(hup hup hiiiiii.........
(to be continued) wass